cires

Syalom…
Namaste…
Om swastyastu…
Namo buddhaya...
Shalom Aleichem…
Salam Damai Sejehtera...

Selamat bergabung dengan Centre for Interreligious Studies (CIReS).


Centre for Interreligious Studies (CIReS). Merupakan lembaga yang mengupayakan terwujudnya tatanan masyarakat yang sadar keragaman dan komitmen pada nilai-nilai keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan.
. Selengkapnya...
cires
“For a Humanity and Tolerance”

Paper as dedicated for discusion Centre for Interreligious Studies (CIRėS)

Hampir semua peradaban besar yang pernah tumbuh di muka bumi pada mulanya dimotivasi oleh keyakinan agama. Agama adalah bentuk yang paling awal dan tidak langsung dari pengetahuan diri manusia. Tantangan agama di tengah perkembangan dunia kontemporer sekarang ini, tidak bisa dijawab dengan seenaknya, namun dibutuhkan pemikiran yang matang agar fokus perhatiannya menjadi lebih transparan. Terhadap persoalan-persoalan yang ada dewasa ini, agama perlu "keluar dari cirinya sendiri untuk mengenali problem di dalam maupun di luar.

Abrahamic Religions, atau yang sering disebut agama Yahudi, Kristen dan Islam meyakini mereka adalah sama-sama keturunan Nabi Ibrahim. Kaum Yahudi, Kristen dan Muslim semua meyakini bahwa Tuhan telah mewahyukan diri-Nya dan langsung ikut campur dalam urusan manusia di beberapa peristiwa yang kemudian langsung menjadi sejarah penyelamatan. Agama Yahudi, Kristen dan Islam memiliki kemiripan telak di dalam gagasan tentang Tuhan, meskipun orang Yahudi maupun Islam memandang doktrin Trinitas dan Inkarnasi sebagai suatu kekeliruan. Mereka juga mempunyai teologi-teologi kontroversial versi mereka sendiri. Setiap ekspresi yang bervariasi tentang tema-tema universal ini memperlihatkan kreatifitas dan imajinasi manusia ketika mencoba mengekspresikan pemahamnnya tentang Tuhan dan agamanya.

Agama Yahudi, Kristen dan Islam juga sering diwarnai konflik, konflik ketiga tradisi Ibrahim (monotheis) ini misalnya terjadi di Timur Tengah dalam perebutan kota suci Yerusalem yang mengakibatkan perang besar (Perang Salib). Hingga memunculkan semangat baru yang memuaskan dalam agama dengan mencari cara baru untuk menjadi religius. Salah satu dari eksperimen ini seberapapun tampak paradoksnya adalah fundamentalisme.

A. Embriologis/Kronologis/Geneologis Abrahamic Religions
Abrahamic Religions (Yahudi, Kristen dan Islam) sebagai agama-agama yang bersumber kepada Ibrahim. Dan saat ini dunia menampung 1,4 milyar juta umat Kristiani, 800 juta jiwa umat Muslim dan hanya 12 juta umat Yahudi di sepanjang kawasan diaspora, kaum Yahudi adalah minoritas kecil di antara budaya-budaya besar non Yahudi, Israel adalah negara-negara kecil yang di kelilingi sejarah negara-negara Arab yang luas, jumlah penduduk Yahudi saat ini kurang dari seperempat penduduk dunia dan sudah barang tentu pengaruhnya teramat kecil.

Menurut masyarakat Ibrani (Yahudi), nabi Ibrahim a.s adalah figur terpenting bagi bangsa Ibrani ia adalah bapak dari serentetan anak-anak yang kesemuanya memiliki hubungan kuat dengan Ilāh. Ia dan tempat tinggalnya dikembalikann pada kota Ur-Kasdim di pesisir sungai Efrat. Ia beserta seluruh kaumnya meninggalkan tempat tinggalnya, kota Ur di Irak kuno, menuju tanah Kanaan yang diduga sebagai tanah Palestina sekarang. Di Kanaan ia bertemu dengan Tuhannya, yaitu Tuhan yang dalam nama Taurat dikenal dengan nama Eli atau El dari Ibrahim kemudian diyakini Musa sebagai Nabi keturunannya yang akan membawa kesejahtraan bagi orang Yahudi.

Posisi nabi Ibrahim bagi orang-orang Kristen tidak kalah tinggi di banding dengan pemosisian orang-orang Yahudi atasnya, karena Injil Matius menegaskan bahwa Ibrahim (Abraham) adalah kakek tertinggi Yesus Kristus. Bahkan sejak awal, Matius menyebut Injilnya sebagai “Kitab (silsilah) Yesus Kristus anak Dāūd, anak Abraham (Matius 1:1)”

Bagi umat Islam, Ibrahim adalah kekasih Allah (Khalilullāh) sang nabi yang mulia dan bapak para nabi keseluruhan. Dari tulang rusuknyalah lahir secara turun temurun anak, cucu, dan cicit, dengan membawa benih kenabian (nūbūwāh), sehingga mereka bisa dibilang mata rantai para nabi. Al-Qur’an (QS. al-Ankabut 29: 27) dan (QS. An-Nisa 4:125).

B. Titik Temu/Hubungan Abrahamic Religions

Agama Islam, Kristen, dan Yahudi memiliki banyak unsur titik temu selain dari titik seteru. Ada banyak sekali kesamaan terkait dengan isi kitab suci maupun kisah tentang para nabi. Ketiga agama besar ini pun sama-sama menandaskan bahwa ketaatan sejati terhadap wahyu Ilāhi harus dilambari hubungan yang benar dengan Tuhan dan sesama manusia.

Dalam Agama Islam, Kristen, dan Yahudi (Abrahamic Religions) Nabi Ibrahim a.s. adalah figur penting bagi agama-agama besar di dunia. Ketiga agama ini menyandarkan diri secara penuh atas eksistensi Ibrahim sebagai panutannya. Dalam ketiga agama ini, Ibrahim diyakini sebagai sosok pahlawan yang menjadi peletak dasar ketuhanan dan kesetaraan relasi sosial yang berkeadilan.

Bagi ketiga agama ini pula, Ibrahim diyakini sebagai kekasih Tuhan, manusia pilihan yang menegakan ajaran Tuhan di bumi. Pengukuhan atas Ibrahim ini bukan hanya terbatas pada tradisi lisan, tetapi secara langsung berada pada titik jantung agama, yaitu termuat dalam kitab sucinya masing-masing; Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dalam kitab suci itulah ketetapan-ketetapan Ibrahim secara langsung terpaparkan.

Kemudian ketiga agama ini juga menyatakan tentang keimanan mereka terhadap konsep keTuhanan yang sama yaitu monoteis sebagai bentuk kepercayaan baru mereka terhadap Tuhan sangat berbeda bila dibandingkan dengan kepercayaan yang ada sebelum datangnya ketiga agama tersebut. Walaupun dalam pernyataan-pernyatan konsep dan nama sebutan yang berbeda.

C. Titik Tengkar/Benturan Abrahamic Religions

Abrahamic Religions dan Titik Tengkar/Benturan yang kerap terjadi dantara merka terjadi karena adanya “truth calim”. Umat Yahudi mengakui bahwa dialah umat yang terahir dan terpilih selain mereka adalah sesat dan kafir. Umat Kristen mengakui Yahudi adalah masa lalu mereka dan Kristen adalah penyempurna Yahudi dan merekalah umat yang terbaik dan terakhir. Namun umat Islam menyatakan bahwa merekalah umat yang terakhir dan sebagi umat penyempurna dari Yahudi dan Kristen sehingga menyatakan bahwa merkalah yang paling benar. Dan pada akhirnya melahirkan sebuah kepercayaan yang melahirsebuah titik tengakar/benturan dalam Abrahamic Religions diantaranya :

1. Jerusalem (Satu Kota Tiga Iman) Kota Suci
Bagi pemeluk agama Yahudi, Jerusalem (tanah suci) dianggap sangat penting, karena pemeluk agama Yahudi beranggapan bahwa Jerusalem adalah tanah milik nenek moyang mereka, yang diwariskan kepada mereka. Lebih dari itu, mereka juga berasumsi bahwa Jerusalem merupakan tanah yang dijanjikan Tuhan kepada penduduk Kanaan sebuah nama dalam sejarah awal Jerusalem, yang saat ini menjadi Israel moderen-yang disampaikan Tuhan melalui nabi mereka, hingga pada akhirnya dikenal dengan istilah “tanah perjanjian”. Atas dasar keyakinan tersebut, kaum Yahudi berpandangan bahwa merekalah yang paling berhak menempati kota itu, mengingat di situ terdapat sebuah kuil yang dibangun oleh nabi mereka, yang telah dipilih Tuhan sebagi penyelamat kaum Kanaan waktu itu
Demikian juga dengan agama Kristen, mereka beranggapan bahwa kota itu adalah tempat kelahiran Yesus, sekaligus tempat Yesus disalib, dan merupakan tempat paling suci dari tempat manapun, sebab umat Kristen beranggapan, Jerusalem adalah sebuah tempat dimana Yesus dimakamkan. Sehingga mereka merasa behwa kota tersebut adalah kota suci mereka, dan ada sebagian dari merka yang memiliki pengabdian paling fanatik terhadap kota suci itu karena tafsir fisik (pemahaman akan doktrin) mereka akan kesucian. Karenanya mereka menyatakan paling berhak atas kota tersebut.

Namun, tidak semua umat Kristen setuju akan anggapan-anggapan dan praktik-praktik keagamaan, ibadah yang dilakukan oleh sebagian umat Kristiani lainya di kota tersebut. Buktinya, meskipun sebagian komunitas Kristiani ini juga mempunyai anggapan yanag sama tentang kesucian kota tersebut, akan tetapi mereka-komunitas Kristen yang memisahkan diri dari doktrin greja yang ada pada waktu itu, komunitas ini disebut dengan Kristen Protestan meniadakan ziarah ke tempat-tempat suci dan tempat itu, sebab, mereka menganggap pengabdian atas Jerusalem yang berlebihan sama halnya dengan pemujaan berhala.161

Sedangkan pemeluk agam Islam, merasa berhak memiliki kota itu, sebab mereka meyakini kebenaran peristiwa ‘Isrā’ Mi’rāj nabi Muhammad, yakni perjalanan semalam nabi dari Masjid al-Haram di Makah ke Masjid al-‘aqśā di Jerusalem, dan diteruskan perjalanan menuju langit, selain itu, umat Islam juga memegang teguh ajaran sejarah agama mereka, yang mengajarkan bahwa sebelum Ka’bah, Kiblat umat Islam adalah Bayt al-Maqdis, yang terletak di Jerusalem. Karena itu, mereka kemudian sangat yakin bahwa Jerussalem merupakan tanah suci ke tiga umat Islam -setelah kota Makah dan Madinah yang kemudian di kenal dengan istilah “Al-Quds.

2. Perang Salib (Sebuah Perang Mencari Jati Diri)

Perang Salib memang telah menjadi sebuah ikon buram dalam sejarah hubungan Muslim, Kristen dan Yahudi sepanjang sejarah meskipun sebenarnya telah berlalu, Perang Salib telah meninggalkan ingatan kolektif, sekaligus pengalaman traumatik bagi kedua belah pihak, hingga hari ini, torehan dan episode persetruan panjang itu menjadi luka kolektif yang tak kunjung tersembuhkan.

Torehan luka kolektif itu tampak dengan adanya prasangka, kesalahpahaman dan kekhawatiran terhadap pihak lain yang melahirkan pencitraan baru bagi yang lain, akibatnya luka kolektif itu terus mengganggu upaya-upaya untuk mengembangkan hubungan yang harmonis bahkan luka kolektif itu sudah menjadi magma laten yang siap menghasilkan konflik yang lebih dahsyat lagi. Perang Salib telah banyak berpengaruh terhadap pola pandang dan cara pikir Islam dan Kristen dalam bidang hubungan keberagamaan.

Perang salib bukanlah gerakan kecil di Abad pertengahan. Perang salib justru merupakan hal pokok bagi proses pembentukan identitas baru, orang-orang Barat, yang membuka jalan ke masa kini dan membuka jalan hingga hari ini. Perang salib juga menampilkan wajah terburuk agama.
Perang Salib telah menyeret ketiga agama Semit dalam sebuah jalinan akut yang begitu rumit, yang pada tingkat tertentu menempatkan kelompok agama lain sebagai penghalang terpenuhinya nubuat penyelamatan versi agama mereka.

Perang salib, demikian menurut sudut pandangan Barat, merupakan serangkaian operasi militer paling sedikit terjadi atas delapan babak, yang didorong oleh keinginan kaum Kristen Eropa untuk menjadikan tempat-tempat suci umat Kristen dan terutama Yerusalem masuk ke dalam wilayah perlindungan mereka. Bagi pihak barat Perang Salib di mulai tahun 1095, ketika Paus Urbanus II menyerukan maklumat perang sucinya yang terkenal sampai abad ke lima belas dan bahkan abad selanjutnya, meskipun banyak yang berpendapat bahwa penaklukan Acre pada 1291 merupakan akhir usaha keras Tentara Salib melawan Negara-negara Islam di sepanjang Mediterania Timur.

Sebagaimana begitu banyak konflik moderen lainya, tidak sepenuhnya gerakan rasional dan dapat dijelaskan dengan sudut pandang ekonomi murni atau ambisi territorial, atau oleh sebuah pertentangan hak dan kepentingan. Perang salib, di semua pihak, dibakar oleh berbagai mitos dan gairah yang jauh lebih efektif dalam membuat orang bertindak dari pada motivasi politik murni apa pun. Perang-perang suci abad pertengahan di Timur Tengah tidak dapat diatasi oleh perjanjian-perjanjian rasional atau penyelesaian-penyelesaian kewilayahan yang rapi.

Gairah-gairah mendasar dilibatkan yang berkaitan dengan identitas kaum Kristen, kaum Muslim dan Yahudi dan yang disucikan bagi identitas mereka masing-masing. Gairah tersebut tidak berubah banyak di perang suci masa kini. Dan dalam perang salib terdapat keterkaitan erat antara Perang Salib di abad pertengahan di Tanah Suci dengan konflik antara orang-orang Arab dan kaum Yahudi di Timur Tengah saat ini.

3. Fundamentalisme Agama (Berperang Demi Tuhan Gaya Baru/Modern)

Fundamentalisme dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam menjadi buah bibir yang tak pernah lekang. Pasalnya, sebagian kalangan meyakini bahwa fundamentalisme menjadi sumber konflik dalam masyarakat yang beragam. Fundamentalisme dimaknai sebagai pemikiran hitam putih yang tak ada ruang di antaranya. Setiap agama sebenarnya mengajarkan fundamentalisme, baik Islam, Yahudi, maupun Kristen. Fundamentalisme ini dimaknai sebagai ajaran dasar yang menjadi tuntunan dan pedoman dalam kehidupan keberagamaan. Seluruh umat beragama akan tunduk dan patuh menjalankan ajaran dasar ini. Dengan demikian, fundamentalisme merupakan sebuah keniscayaan. Meskipun para pelakunya datang dari beragam kepercayaan, mereka memiliki satu karakteristik umum: over fanatism in religious faith. Ketaatan yang berlebihan dalam beragama.

Fundamentalisme terdapat di semua ajaran agama. fundamentalisme adalah warisan inheren dan absah dalam tradisi agama-agama, khususnya agama semitik. Yahudi, Kristen, dan Islam sama-sama mempunyai pengalaman dan tradisi fundamentalisme. Karena itu, menguatnya arus fundamentalisme agama-agama di belahan dunia meruntuhkan pelbagai macam tesis dan pandangan. Kemodernan dianggap akan dapat menggeser posisi fundamentalisme, tapi pada akhirnya harus menerima fundamentalisme sebagai fakta sosial. Bahkan boleh dibilang bahwa posisi fundamentalisme dan kemodernan bersifat sejajar.

Menurut Hugh Goddard, “Fundamentalisme” (disini dibubuhkan tanda petik dua hingga saampai pada definisi yang pasti karena pada masa sekarang istlah itu digunakan secra luas dalam kaitanya dengan fundamentalisme Muslim, Yahudi dan Kristen dan yang lain. Dengan memiliki banyak arti tersebut apabila istilah itu tidak didefinisikan secra pasti, maka tidak akan banyak berguna). Semua arus setudi akhir-akhir ini memusatkan pada masalah ini. “fundamentalisme” pada dasarnya digunakan dalam arti yang berbeda: Pertama, “fundamentalisme”dalam arti teologis, menunjukan khusus pada pandangan tertentu mengenai kitab suci dan bagaimana panadangan itu terbentuk.

Kedua “fundamentalisme” digunakan dalam arti filosofis. Disini menunjukan pada sikap bermusuhan terhadap penggunaan metode kritis untuk mendekati studi kitab suci. Ketiga “fundamentalisme” dalam aspek sosiologis yang terkait dengan fenomena sektarianisme atau keanggotaan dalam suatu kelompok dimana orang-orang yang ada diluar dia dianggap bukan “orang beriman yang sebenarnya”.

Keempat “fundamentalisme” digunakan dalam arti histories yang berarti “keagamaan konservativ” atau kembali pada suatu asal usul keimanan, “kembali pada suatu fondasi” (fundamental) adalah seruan yang utama. Dan, Last but not the least, “fundamentalisme” sering digunakan dalam arti politik, yakni menunjukan suatu usaha untuk melakukan revolusi atas nama agama. Disini ironinya adalah bahwa pemakaian kata “fundamentalisme” yang menunjukan pada gerakan politik hampir tidak memperhatikan semua paket pandangan dari gerakan ini satu-satunya kriteria biasanya adalah kemanfaatan atau kemudharatan mereka bagi Barat.

“fundamentalisme” merupakan suatu kata yang digunakan dalam berbagai cara, dan beberapa penjelasan konteks tertentu perlu diberikan jika kata itu hendak digunakan. Istilah itu sering sekedar singkatan untuk kelompok obskurantis/otoritarian, membabi buta/berpendirian keras, arogan eksklusif, berpandangan kebelakang/nostalgic, dan subversive/reaksioner (tergantung sudut pandangnya), sesuai dengan kelima aspek.

Fundamentalisme agama akan sangat tidak terkontrol apabila ingatan-ingatan kolektif tentang goresan luka lama/sejarah peradaban yang tercoreng (perang salib) dalam Abrahamic Religions tidak segera dibenahi dengan upaya-upaya dialog/rekonsiliasi yang bertujuan memberikan kedamaian, keadilan, kesejahtraan, kebersamaan dan semua kata indah lainya bagi kemanusiaan.

Coment.

Dalam pergaulan di masyarakat yang sangat beragam, pemeluk agama mestinya mengedepankan ajaran-ajaran universal yang ada di dalam ajaran agamanya. Di antaranya adalah ajaran tentang keadilan. Bukankah semua agama juga mengajarkan tentang keadilan. Juga upaya untuk mewujudkan tatanan kehidupan sosial yang harmonis.

Kemudian maningkatkan sikap saling menghormati dan saling berdialog dapat muncul diantara kaum Yahudi, Muslim dan Kristen, jika saja idealisme religius tidak menghalangi mereka
Topik agama-agama menjadi sangat penting untuk terus dikembangkan dalam rangka menemukan suatu relasi yang kondusif di dunia. Kajian itu tidak hanya sebatas pada pandangan Barat tetapi juga perlu dikembangkan perspektif dari Timur khususnya Islam yang memang mempunyai perbedaan sejarah dan kultural yang berbeda dengan Barat. Agar dapat menemukan sebuah titik temu yang lebih objektif.

CIReS yang memegang prinsip atau paradigma keilmuan yang integralistik menjadi sangat penting untuk mengembangkan suatu wacana yang beragam dalam hubungan antar agama-agama. CIReS seharusnya menjadi lembaga/badan yang bisa mengkampanyekan hubungan tersebut dalam bingkai agama-agama di dunia.

Writer : MuharisA Leader Division Perss
Centre for Interreligious Studies (CIRėS)
. Selengkapnya...
cires
Taqwa secara etimologis, menurut satu pendapat, berasal dari kata “wiqoyah” yang artinya memlihara. Sedangkan menurut pendapat yang lain, taqwa berasal dari kata ” waqaa” “Waqitusy-syaia” yang artinya saya menjaga dan menutupinya.

Pada umunya, taqwa dimaknai “takut” atau “patuh”. Baik itu takut meninggalkan perintah dan takut melakukan larangan Allah. Patuh untuk menjalankan perintah dan patuh untuk meninggalkan larangan Allah.

Doktrin taqwa dalam Islam menduduki posisi penting, selain sebagai jaminan seseorang masuk surga, taqwa juga dapat menempatkan seseorang pada kududukan mulia. “Inna Akromakum ‘Indallahi Atqokum” yang terbaik adalah yang paling bertaqwa diantara kalian. Peran penting taqwa juga dapat kita pahami melalui perintah Allah untuk mencapainya. sebagaimana kita peroleh dalam Firman Allah, surah ali-Imran ayat 102 yang artinya : Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa. Janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan kamu beragama Islam.

Dalam konteks pluralisme, tingkat ketaqwaan seseorang juga dapat diukur. Artinya, kadar ketaqwaan seseorang atau kelompok dapat diukur melalui sejauhmana sikapnya terhadap pengakuan atas keberagaman. Pengakuan atas keberagaman adalah bagian dari yang diperintahkan oleh Allah, sebagaimana dalam firman Allah yang artinya, Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS 109: 6), dan firman Allah yang artinya, Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak (perlu ada) pertengkaran di antara kami dan kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepada-Nyalah kembali (putusan segala sesuatu) (QS Al-Syura [42): 15).

Jika demikian, maka, kwalitas ketaqwaan ummat Islam di Indonesia dapat di kelompokkan sebagai berikut. Pertama, orang atau kelompok yang tidak mengakui perbedaan, termasuk perbedaan pemikiran maupun ideologi dalam agamanya sendiri. kelompok ini di wakili oleh fundamentalisme ekstrem seperti, Amrozi dkk. Dan kelompok ini merupakan kelompok yang kadar ketaqwaannya sangat rendah.

Kedua, orang atau kelompok yang mengakui perbedaan cara pandang dalam memahami agamanya. Namun, pengakuannya sebatas pada perbedaan metodologi yang bersumber dari tradsisi keislaman. artinya, selain metodologi yang bersumber dari tradisi Islam, misalnya metodologi yang lahir dari tradisi barat maupun eropa, tidak diakui oleh kelompok ini. Kelompok ini, di Indonesia di wakili oleh Islam fundamental seperti Abu Bakar Ba’asyir dll. Afisliasi politiknya, biasanya kelompok ini cenderung pada partai-partai yang berasaskan Islam. Dan Tingkat ketaqwaannya lebih tinggi dari pada kelompok pertama.

Ketiga, orang atau kelompok yang mengakui perbedaan pemahaman keagamaan, baik itu bermuara pada perbedaan metodologi yang lahir dari tardisi Islam maupun metodologi yang lahir peradaban lain. Bagi kelompok ini, nomenklatur Isla Liberal atau Islam Fundamental bukanlah hal penting. Mereka, bagi kelompok ini di nilai sebagai orang-orang yang berijtihad melalui metodologi yang dikuasainya. Namun demikian, kelompok ini masih mengakui perbedaan sebatas dalam lingkungan satu agama. Kadar ketaqwaannya jauh lebih tinggi dari pada kelompok kedua dan pertama.

Keempat, orang atau kelompok yang mengakui bukan saja perbedaan madzhab pemikiran maupun ideologi dalam agamanya, melainkan juga perbedaan agama. Sikap kelompok ini lebih eklsusif, sebab, Bagi kelompok ini, manusia diberi kebebasan yang terbuka untuk mencari kebenaran tidak hanya terbatas pada satu agama tertentu. Semua agama, menurut kelompok ini, mengajarkan kebaikan dan mengajak manusia terus mendekat kepada penciptanya. Dari prespektif pluralisme, Kelompok inilah yang masuk dalam kategori “inna akromakum ‘Indallahi Atqakum”.

Wallahu ‘alam Bissawab.

Oleh : Abdul Muiz Syaerozie
. Selengkapnya...
cires
Sejumlah organisasi lintas keagamaan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak perlu ragu bertandang ke Makassar untuk membuka Mukhtamar Nahdlatul Ulama, Selasa pekan depan. Walaupun sering terjadi demonstrasi anarkis, mereka menilai Makassar cukup aman untuk dikunjungi.

"Kami sangat berharap Bapak Presiden datang," kata Nyoman Suartha, Ketua Persatuan Hindu Dharma Indonesia, Sulawesi Selatan, dalam jumpa pers Persiapan Mukhtamar Nahdlatul Ulama di Clarion Hotel, Makassar, Sabtu (20/3) sore.

Pernyataan Nyoman sebagai simbol dukungan umat Hindu terhadap digelarnya mukatamar tersebut. "Tiga tahun lalu, kami menggelar kegiatan keagamaan dan Presiden datang. Kami juga berharap beliau datang pada kegiatan Saudara kami umat Islam," katanya.

Hal senada diungkapkan oleh Pendeta Daniel Sopamina, perwakilan dari Persatuan Gereja Indonesia Wilayah Sulawesi Selatan dan Barat. Menurut dia, Makassar adalah wilayah yang memiliki tingkat keamanan yang cukup terjaga. "Kalau ada yang bilang Makassar tidak aman, maka itu dosa," katanya.

Daniel mengungkapkan kerusuhan yang terjadi di Makassar sebenarnya dibesar-besarkan oleh media massa. Padahal, kata dia, kejadiannya tidak terlalu parah. "Kami berharap media jangan meliput rusuhnya saja, masih banyak hal yang baik di sini," kata Daniel, "Makanya, kami berharap Presiden bisa datang."

Mukhtamar Nahdlatul Ulama akan digelar di Asrama Haji Sudiang mulai Selasa pekan depan. Kegiatan ini diperkirakan akan dihadiri sekitar 10 ribu umat Islam dan 50 perwakilan dari negara Islam.
. Selengkapnya...
cires
Sebagai bangsa yang mempunyai ragam etnik, budaya dan agama, dialog menjadi sangat penting didalamnya. Karena itu, berbagai aktivitas akademik seperti seminar, workshope, semiloka dan berbagai kajian ilmiah terus dilakukan guna mewujudkan model dialog yang paling efektif.


Hal ini memang harus dilakukan mengingat dalam catatan sejarah kebangsaan di Indonesia, perbedaan etnik dan agama acap kali dituding sebagai pemicu konflik. Bahkan pada taraf tertentu konflik yang diakibatkan perbedaan etnik dan agama ini ditengarai sangat membuka ruang bagi perpecahan bangsa. Karena itu iklim dialog harus terus diupayakan dan diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nilai signifikansi dialog, paling tidak, dalam suatu bangsa yang mempunyai watak keragaman adalah dapat membantu pertumbuhan budaya secara sinergik dan sekaligus mengantisipasi ancaman disintegrasi bangsa. Melalui dialog, diharapkan budaya dapat tumbuh secara sehat. Melalui dialog pula integrasi bangsa di harapkan dapat berdiri secara utuh.

Secara khusus, kesadaran membangun dialog antar agama bukan merupakan hal baru. Upaya mengkonstruksi dialog antar agama dari dulu sebenarnya telah diupayakan. Qadli Abdul Jabbar, Muhammad Abduh dan Abu Zahra – untuk sekedar mengungkapkan contoh - merupakan sederetan nama tokoh yang berusaha mengkaji dialog antar agama dan peradaban. Tetapi mengapa formulasi dialog yang dikonstruksi justru belum dapat menuntaskan problem keragaman agama?. Konflik yang melibatkan massa yang berbeda agama seperti di Poso misalnya, masih saja terjadi. Kecurigaan suatu agama terhadap agama yang lain juga menjadi bukti kurang efektifnya formulasi dialog yang ada.

Muhammad Arkoun, seorang pemikir muslim kontemporer, menampakkan wajah kegelisahannya dengan persoalan ini. Tokoh yang dikenal concern dalam mendekonstruksi nalar Islam ini juga berupaya mengkonsentrasikan pemikirannya pada persoalan dialog antar agama.

Bagi Arkoun, dialog klasikal model Muhammad Abduh dinilai sangat mustahil menciptakan tatanan masyarakat dan kehidupan beragama yang damai. Cara pandang yang masih menempatkan Islam vis a vis Barat menurut Arkoun hanya akan menciptakan sikap apologetik dan ekslusif.

Cara pandang yang demikian ini juga hanya akan mendorong kaum agamawan merasa berkewajiban untuk berdiri melawan The Other-tidak berusaha memasuki perspektif orang lain, tetapi malah melindungi, mengklaim, dan menegaskan "nilai-nilai" spesifik atau "otentisitas" yang tidak dapat dilampaui dalam agama masing-masing.

Karena itu, Muhammad Arkoun mengajak meninggalkan model dialog tardisonil dan berupaya membangun formulasi dialog antar agama yang baru. Yakni suatu dialog yang lebih rasional, objektif dan kritis. Kalau dalam dialog klasik referensi-referensi teologis digunakan sebagai system cultural untuk saling bersifat eklusif maka dalam bangunan dialog yang baru, referensi-referensi teologis digunakan sebagai alat untuk melamapaui kungkungan tradisonil.

Ada tiga hal menurut Muhammad Arkoun yang harus dilakukan guna menyukseskan agenda dialog antar agama, khususnya antar-tiga agama Semit. Diantaranya adalah :

Pertama, melakukan pemikiran ulang tentang agama dan masyarakat menuju suatu era pemikiran baru berdasarkan solidaritas historis dan integrasi sosial. Agama secara histories tidak dimaknai sebagai pemecah masyarakat dan pembentuk sikap anti humanis, melainkan harus dimaknai sebagai factor pendorong bagi kesatuan dan solideritas ummat manusia.

Kedua, melakukan reformasi pemikiran dari pemikiran teologis eksklusif menuju kritisisme radikal tanpa konsesi radikal terhadap "akal religius" sebagaimana fungsinya dalam tradisi tiga agama Semit itu. Dalam spectrum ini, Arkoun merumuskan kritik epistemologi terhadap bangunan keilmuwan agama, lebih khususnya bangunan keilmuwan agama Islam.

Ketiga, perlunya studi agama secara historis-antropologis. Anjuran Arkoun ini merupakan upaya untuk memahami, mencermati dan menganalisis konstruksi keilmuan dan pemikiran keagamaan secara lebih mendasar.

Dengan tawaran tiga langkah rumusan Muhammad Arkoun setidaknya diharapkan dapat membantu kita mengentaskan problem hubungan antar agama sekaligus menghidupkan kembali iklim dialog antar agama yang lebih kondusif, efektif dan terkesan lebih dewasa dalam konteks keindonesiaan.

Jika bangsa yang mempunyai ragam agama ini tidak ingin segera berantakan, maka segeralah kita membuka ruang dialog antar agama. Sebab dengan dialog, keutuhan Indonesia sangat mungkin tetap terjaga. Sedangkan Menjaga integritas bangsa adalah kewajiban bagi kita semua. Demikianlah pada akhirnya.

Writer : Abdul Muiz Syaerozie
. Selengkapnya...